Jakarta – Perkembangan teknologi digital telah merevolusi cara perusahaan berkomunikasi. Dari awal mulanya hanya sebatas pertemuan tatap muka fisik, hingga beralih ke konferensi video dan pesan instan.
Semua transformasi ini terjadi di tengah ketidakpastian yang tinggi sehingga seringkali justru menyebabkan penurunan efisiensi perusahaan.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap media komunikasi yang efektif menjadi kunci utama bagi sebuah organisasi untuk mengatasi perubahan dengan sukses dan optimal.
Dalam artikel ini, penulis, Muhammad Vano Budi Putra, yang juga merupakan mahasiswa Program Magister Komunikasi di Universitas Paramadina, ingin membagikan pengalamannya dalam menghadapi tantangan komunikasi di sebuah perusahaan dalam negeri tempat ia bekerja.
Tantangan yang terjadi tersebut timbul setelah maraknya implementasi kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) sebagai respon terhadap isu Covid-19 dan kemacetan, serta polusi di ibu kota yang kian mengkhawatirkan.
Kebijakan WFH, seperti yang kita ketahui, menuntut semua aktivitas untuk dilakukan secara daring. Pada saat itu, media komunikasi yang digunakan secara konsisten oleh perusahaan penulis adalah email karena dianggap lebih terdokumentasi dan mudah untuk di akses kembali.
Namun ternyata hal ini malah memicu terjadinya berbagai macam miskomunikasi, khususnya terkait pemahaman karyawan terhadap tingkat urgensi pesan yang disampaikan, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi mereka dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan keputusan strategis.
Sebagai contoh, seringkali tim manajemen memberikan informasi terkait adanya perubahan rencana strategi pemasaran produk di mana mereka kemudian mengirimkan email kepada seluruh karyawan untuk meminta masukan dan saran terkait rencana perubahan itu.
Namun hanya segelintir karyawan yang merespons, dengan rata-rata kurang dari 30% karyawan yang merespon atau memberikan feedback setelah 3 hari sejak email dikirimkan berdasarkan data QC yang dilakukan. Akibatnya, keputusan yang diambil tidak mencerminkan aspirasi mayoritas karyawan.
Bila ditelisik menggunakan kacamata komunikasi, kita bisa melihat bahwa Media Synchronicity Theory atau teori sinkronisitas media yang dikembangkan oleh Dennis & Valacich sebenarnya telah menjelaskan fenomena ini.
Teori tersebut menekankan pentingnya pemilihan media komunikasi yang tepat karena setiap media memiliki tingkat sinkronisitas yang berbeda, yakni seberapa jauh media tersebut mendukung komunikasi yang simultan dan instan.
Email dilihat sebagai alat komunikasi yang bersifat asinkron hingga kurang mendukung kolaborasi dan diskusi dua arah, hal ini dikarenakan beberapa karakteristiknya seperti:
Nah, akibat dari rendahnya tingkat sinkronisitas ini, penggunaan email secara tunggal menjadi sangat rentan terhadap kesalahpahaman.
Dalam konteks WFH, di mana masalah-masalah kompleks yang membutuhkan tingkat kolaborasi yang tinggi sering muncul, ini menjadi sebuah masalah serius.
Dalam mengatasi masalah tersebut, manajemen perusahaan mengambil suatu tindakan yang menurut saya juga sesuai dengan argumen teori Media Richness karya Daft & Lengel yang menekankan pentingnya memilih media berdasarkan tingkat sinkronisitas dan ‘kekayaan media’, sehingga dapat memenuhi kebutuhan komunikasi.
‘Kekayaan’ yang dimaksud disini adalah kemampuan suatu media komunikasi untuk mengurangi equivocality, yaitu ketidakpastian atau kekaburan makna dengan cara memiliki lebih banyak isyarat baik verbal maupun non-verbal.
Jadi tindakan yang diambil manajemen adalah dengan memisahkan saluran komunikasi internal berdasarkan urgensinya sebagai berikut:
Langkah diatas terbukti efektif dalam mengurangi miskomunikasi dan meningkatkan produktivitas Perusahaan. Faktanya sejak kebijakan ini di implementasikan di awal tahun 2021, respon terhadap isu dan kebijakan strategis bisa didapatkan secara spontan selama meeting yang berlangsung 1-2 jam dengan partisipasi umpan balik hingga 90% dari jumlah karyawan yang dilibatkan.
Hal ini memungkinkan keputusan strategis dapat diambil secara lebih cepat dan efektif yang terbukti melalui peningkatan pendapatan perusahaan di tahun 2022 yang mencapai 3.2 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa memilah saluran komunikasi dan media yang tepat berdasarkan tingkat kerumitannya, terbukti sangat efektif untuk mengatasi tantangan dalam komunikasi internal organisasi yang dilakukan secara online.
Terlepas dari itu, penulis juga merasa bahwa integrasi platform dan pelatihan literasi digital perlu dilakukan secara berkelanjutan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia agar karyawan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi secara optimal untuk mengatasi perubahan yang mungkin dapat terjadi.