Jakarta – Reputasi dalam era globalisasi dan pasar yang terbuka seperti saat ini telah menjadi aset berharga bagi sebuah organisasi atau perusahaan. Reputasi yang baik dapat membangun kepercayaan pelanggan, menarik investor, dan merekrut talenta-talenta terbaik yang sebaliknya akan berdampak positif pada peningkatan pemasukan atau profit yang notabene merupakan tujuan utama dari dibentuknya suatu perusahaan.
Mengutip Dalton & Croft (2003), reputasi itu sendiri dapat diartikan sebagai total penilaian dari atribut-atribut yang dimaknai oleh stakeholder terhadap suatu perusahaan berdasarkan persepsi dan interpretasi mereka pada image dan citra perusahaan.
Membangun reputasi perusahaan yang positif adalah proses yang sulit dan membutuhkan waktu lama, seperti membangun sebuah gedung pencakar langit. Meskipun begitu, reputasi nyatanya juga merupakan sesuatu hal yang rapuh dan dapat rusak dengan cepat jika terjadi suatu krisis yang tidak ditangani dengan baik.
Kebalikan dengan reputasi positif, krisis merupakan kejadian yang tidak diharapkan, dan berdampak dramatis yang bisa menimbulkan kerusakan reputasi, kekacauan dan bahkan kehancuran suatu individu, kelompok, ataupun organisasi.
Dalam kaitannya dengan kegagalan suatu perusahaan dalam menangani krisis, isu yang yang menarik dikaji ialah kasus Skandal Boeing 737 MAX. Bukan tanpa alasan, pesawat Boeing 737 MAX dari Boeing diketahui telah mengalami 2 kecelakaan fatal dalam rentang waktu 5 bulan pada 2018-2019 yang melibatkan penerbangan maskapai dalam negeri Indonesia Lion Air JT610, dan Ethiopian Airlines ET302. Kedua kecelakaan tersebut menewaskan 346 orang dan menjadikannya salah satu kasus terburuk dalam sejarah penerbangan.
Dokumen internal menunjukkan bahwa saat terjadinya kecelakaan naas Lion Air di bulan Oktober 2018, pemegang saham Boeing awalnya sempat menduga bahwa kejadian tersebut terjadi karena prosedur keselamatan tidak diterapkan dengan memadai oleh maskapai Lion Air.
Meskipun laporan media-media besar seperti FOX News & CNN mengaitkan kecelakaan tersebut dengan temuan Federal Aviation Administration (FAA) yang mengatakan bahwa terdapat error pada sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) bawaan dari Boeing itu sendiri, namun Boeing tetap bersikukuh bahwa kesalahan dan error apapun pada MCAS seharusnya tidak dapat berakibat fatal pada penerbangan.
Barulah setelah kecelakaan Ethiopian Airlines pada bulan Maret 2019 yang menunjukkan kesamaan error pada sistem MCAS dengan penerbangan naas Lion Air sebelumnya, FAA dan belasan negara lainnya akhirnya memberlakukan larangan terbang Boeing 737 MAX sesuai dengan perintah langsung dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kondisi ini membuat Boeing terpaksa melakukan investigasi mendalam terhadap sistem MCAS meski pada awalnya mereka masih tetap menolak klaim bahwa sistem tersebut merupakan penyebab kecelakaan.
Kecurigaan publik pun terbukti, investigasi yang dilakukan ternyata menemukan fakta bahwa error yang terjadi pada MCAS dapat membuat pesawat menjadi tidak terkendali karena mempengaruhi penilaian angle-of-attack pada sistem autopilot, akibatnya pesawat akan menukik tajam secara otomatis yang dapat berakibat fatal seperti yang terjadi pada penerbangan naas Lion Air dan Ethiopian Airlines.
Hal ini akhirnya membuat Boeing menghadapi krisis reputasi yang luar biasa besar. Mereka dituding telah mengabaikan keselamatan demi menekan biaya untuk bersaing dengan pesaing utamanya, Airbus.
Selain itu, Boeing juga dikritik karena lambat dalam merespons krisis dan tidak transparan dalam berkomunikasi dengan regulator dan publik, terutama karena MCAS seharusnya sudah di uji coba dan error apapun pada sistem tersebut wajib dilaporkan ke otoritas penerbangan di AS yaitu FAA sebelum pesawat dipasarkan.
Gugatanpun berdatangan tidak hanya dari keluarga korban kecelakaan, tetapi juga dari pemegang saham. Pada akhirnya, pemegang saham Boeing mencapai kesepakatan di luar pengadilan senilai US$225 juta (Rp3,2 triliun) dengan jajaran direksi dan mantan direksi terkait kelalaian keselamatan Boeing 737 MAX. Gugatan ini menuduh para direksi, termasuk CEO Boeing David Calhoun, lalai dalam memastikan fungsi kontrol dan informasi pada 736 MAX.
Tidak sampai disitu saja, pesawat Boeing 737 MAX yang dijatuhkan larangan terbang sepanjang 2019-2020 lantas juga berdampak pada penjualan Boeing dan saingannya karena banyak perusahaan yang kemudian membatalkan pesanan mereka dan beralih ke Airbus. Hal ini dapat terlihat dari penjualan Airbus di tahun 2019 yang mencapai 1,131 pesawat dibandingkan Boeing yang hanya mencapai 246 pesawat. Total kerugian Boeing diestimasikan mencapai US$ 18,4 Milyar (Rp300 triliun).
Jika dilihat dari sudut pandang manajemen krisis, dalam menghadapi situasi seperti ini sebenarnya Boeing memiliki banyak cara untuk memitigasi eskalasi krisis agar tidak menjadi semakin besar, namun sayang mereka nampaknya malah menerapkan pendekatan yang kontraproduktif.
Sebagai contoh, jika menggunakan Teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) karya W. Timothy Coombs, maka suatu perusahaan harus menerapkan prinsip-prinsip manajemen krisis dan reputasi yang sesuai dengan persepsi khalayak terhadap tanggung jawab mereka sebagai organisasi atas krisis tersebut.
Dalam kasus Boeing 737 MAX, persepsi publik adalah Boeing bertanggung jawab penuh atas krisis tersebut karena ada kemungkinan besar bahwa kegagalan dalam mendesain dan mengawasi sistem mereka menjadi penyebab utama dari 2 kecelakaan naas yang terjadi.
Oleh karena itu, berdasarkan SCCT, Boeing seharusnya menggunakan strategi pemulihan (rebuild strategy), seperti meminta maaf secara tulus, memberikan kompensasi layak kepada keluarga korban, dan segera mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki masalah tersebut, baik itu dengan melakukan investigasi tanpa perlu adanya unsur paksaan, maupun dengan melakukan update software secara sigap terhadap sistem yang dicurigai bermasalah.
Namun alih-alih melakukan rebuild strategy, Boeing malah menggunakan pendekatan strategi pengurangan (diminish strategy), dalam hal ini Boeing mencoba mengecilkan isu dan memutus keterlibatan perusahaan dengan krisis yang terjadi dengan mengatakan bahwa error yang ditemukan pada sistem MCAS tidak dapat berakibat fatal, dan kesalahan utama mungkin terletak pada maskapai yang tidak menerapkan prosedur keamanan dengan baik.
Masalahnya, diminish strategy hanya cocok digunakan apabila ada bukti kredibel untuk mendukung klaim perusahaan dan jika tidak ada framing negatif yang ditujukan kepada perusahaan oleh media-media besar yang dipercaya oleh masyarakat luas. Sedangkan seperti yang kita ketahui, bukan hanya FAA telah menemukan bukti adanya error pada sistem MCAS yang memberatkan Boeing sedari awal insiden terjadi, media seperti Fox dan CNN juga telah mengaitkan temuan FAA dengan kecelakaan pesawat Lion Air dan membuat sentimn masyarakat menjadi negatif terhadap Boeing.
Ketidaksesuaian antara tindakan yang diambil Boeing dengan persepsi publik inilah yang membuat mereka semakin dilihat mengelak dari tanggung jawab dan mencoba melempar kesalahan ke pihak lain. Akibatnya, reputasi Boeing mengalami kerusakan parah, yang berdampak pada penjualan pesawat, dan kepercayaan konsumen yang sampai saat ini belum membaik terhadap produk Boeing 737 MAX mereka.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya manajemen krisis dan reputasi bagi sebuah organisasi. Reputasi yang buruk dapat mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan, dan kehilangan loyalitas pelanggan. Sebaliknya, organisasi yang berhasil mengelola krisis dengan cermat dan mempertahankan reputasi yang baik akan lebih mudah bangkit kembali dan mempertahankan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, setiap organisasi sebaiknya memiliki strategi manajemen krisis dan reputasi yang matang. Strategi tersebut harus mencakup komunikasi yang efektif , tanggung jawab sosial, dan transparansi dalam operasional perusahaan.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Vano Budi Putra, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina.