Surabaya – Belakangan ini, Wali Kota Eri Cahyadi mengeluh merasa pusing akibat fenomena warga luar Surabaya atau warga pendatang yang baru setahun tinggal di Kota Pahlawan, namun sudah mengurus Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal, menurut Eri, mereka sebenarnya hanya tinggal di kos-kosan.
Eri menyebut bahwa dia menemukan ratusan orang yang melakukan praktik tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan fasilitas dan bantuan dari Pemkot Surabaya yang dibiayai dengan APBD. Bantuan tersebut mencakup layanan kesehatan dan sekolah gratis.
Dalam praktiknya, warga pendatang tersebut bersedia membayar biaya kos dengan harga lebih mahal demi bisa mengubah alamat kos-kosannya menjadi alamat domisili untuk mengurus KK dan KTP baru di Surabaya.
“Ya mohon maaf ya. Di Surabaya ini ada kos-kosan yang pemiliknya tidak keberatan alamatnya (dijadikan alamat) KTP. Jadi, alamat kos-kosannya dibolehkan dipakai untuk pindah KTP, tapi harganya dilebihkan,” ujar Eri kepada wartawan pada Selasa (25/7/2023).
Eri mengaku menemukan banyak kasus pengekos yang melakukan praktik tersebut dengan tujuan mendapatkan fasilitas dan bantuan sebagai warga Kota Surabaya. Bahkan, dia menemukan sebuah rumah kos di mana 40 orang penghuninya masuk dalam satu KK.
Khusus mengenai praktik pendatang yang diduga ‘numpang’ KK pemilik kos ini, Eri berencana untuk mengonsultasikannya dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri, untuk memastikan apakah praktik semacam itu benar-benar diperbolehkan.
“Makanya kita berangkat ke Dirjen Dukcapil untuk menunjukkan satu KK ada 40 orang. Saya Kamis ke Jakarta untuk koordinasi,” katanya.
Eri sendiri merasa keberatan jika ada pendatang yang mengganti KK atau KTP baru di Surabaya hanya untuk meminta bantuan. Menurutnya, warga asli Surabaya yang lebih berhak mendapatkan bantuan dari Pemkot dan dia tidak ingin warga asli tergeser oleh pendatang.
“Saya tidak ikhlas kalau orang Surabaya harus tersingkirkan oleh bukan warga Surabaya dan baru pindah Surabaya. Saya lebih baik akan tetap menjadi orang Surabaya daripada harus membantu semuanya tapi bukan orang Surabaya,” tegasnya.
Eri mengatakan bahwa kasus ini hampir merata di wilayah-wilayah Surabaya, terutama untuk rumah kos-kosan yang terbagi-bagi menjadi petak-petak. Karena kasus tersebut, dia merasa dibuat pusing.
Untuk mengatasi masalah ini, Eri berencana untuk mengumpulkan para Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW) dalam waktu dekat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan agar para ketua RT dan RW tidak sembarangan memberikan surat keterangan bagi mereka yang hendak pindah KK dan KTP ke Surabaya.
“Pada intinya, saya berangkat dari kepentingan orang Surabaya aslinya. Ini bukan berarti saya tidak memiliki rasa kemanusiaan. Tetapi, orang Surabaya memiliki nasib yang harus dijaga,” jelasnya.
Pemkot Surabaya pun memiliki skala prioritas dalam memberikan intervensi bantuan. Eri menyatakan bahwa pihaknya akan lebih mengutamakan warga asli atau yang sudah lama menjadi penduduk Surabaya.
“Surabaya ini primadona. Tetapi saya akan memastikan agar tidak semua orang pindah ke Surabaya hanya untuk mendapatkan fasilitas dari Pemkot Surabaya,” tegasnya.
Eri memiliki tekad yang bulat dalam memperjuangkan nasib ‘orang Surabaya asli’. Dia bahkan tidak peduli dengan kabar miring atas pernyataannya yang bisa ditafsirkan berbeda tersebut.
“Apapun yang diberitakan silakan, tapi saya berdiri untuk orang Surabaya, saya berdiri untuk membahagiakan orang Surabaya dulu, baru orang yang luar Surabaya,” pungkasnya.