Surabaya – Dalam budaya Jawa, bulan Suro dianggap baik namun juga sarat dengan bahaya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa mematuhi sejumlah pantangan dan larangan selama bulan ini.
Wulan Selviana, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, menjelaskan hal ini dalam penelitiannya tentang Ritual Menyambut Bulan Suro pada Masyarakat Jawa.
Tidak heran jika beberapa daerah di Jawa mengadakan kenduri tolak bala untuk menyambut bulan Suro. Selain itu, ada tradisi ngeruat, yaitu memandikan benda pusaka, yang dijalankan oleh masyarakat Jawa.
Berikut adalah sejumlah pantangan dan larangan yang dipatuhi dalam budaya Jawa selama bulan Suro:
Bulan Suro dianggap sebagai waktu yang terikat dan doa-doa lebih mudah terkabul, sehingga masyarakat Jawa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Beberapa tokoh seperti Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, juga mengungkapkan filosofi di balik pelarangan menggelar pesta pada bulan Asyura atau bulan Muharram atau bulan Suro.
Bulan Muharram merupakan waktu prihatin bagi anak cucu Rasulullah SAW, terutama Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang mengalami penderitaan hingga terbunuh, sehingga Asyura dianggap sebagai bulan duka.
Oleh karena itu, menggelar pesta atau acara besar di bulan tersebut dianggap tidak pantas dan bertentangan dengan rasa cinta terhadap Nabi Muhammad SAW.
Kiai Marzuki menekankan perlunya menjaga adab dan menghormati ahlul bait dan habaib, sehingga umat Islam tidak seharusnya bersenang-senang saat mengingat wafatnya Husain.